Jejak Duka #3 Pelan-pelan Aku Ceritakan
Pah, kepergianmu membuatku mengerti bahwa rindu paling menyakitkan adalah merindukan seseorang yang telah tiada.
Throwback 20 Januari 2023
Pelan-pelan aku ceritakan. Dimulai dari semester enam, aku sudah diharuskan sibuk dengan Praktik Profesi
Mahasiswa (PPM) atau biasa disebut magang, tepat di bulan januari sudah ke sana
ke mari mencari tempat mana yang cocok untuk magang selama satu bulan ke
depan, sebetulnya ada kebimbangan mau magang di Bandung atau di Karawang dekat
rumah, sebelumnya pikiran untuk magang di Karawang tidak ada sama sekali tapi entah
mengapa ada firasat ingin dekat dengan keluarga dan dengan PPM ini menjadi
kesempatan untuk stay di rumah dengan
magang di daerah Karawang. Pada akhirnya aku menghubungi Papa, mengatakan
maksudku yang berkeinginan magang di daerah Karawang, Papa pun langsung sigap menghubungi
rekan-rekannya yang bekerja di Dinsos maupun di Pemda sesuai dengan lembaga
relevan yang aku tuju.
Di
Pagi itu karena ada waktu luang weekend
rasanya tiba-tiba saja ingin video call Papa, ingin menanyakan kabar sekaligus follow up persoalan magang, tidak lama
langsung diangkat ternyata mama yang menerima panggilan dari hp Papa, terlihat
langsung sudut bibir Mama melengkung ke atas menyambut panggilanku, “Ada apa sayang?”
ucap Beliau nyaring. Namun matanya telihat berat seperti kurang tidur.
“Mama
lagi di mana? Papa mana, Mah?” tanyaku.
Mama
tanpa kata akhirnya mengarahkan kamera ke orang yang tertidur pulas di
sampingnya. Badanku langsung lemas pada saat menyadari orang tersebut adalah
Papa yang belakangan ini sering aku hubungi itupun karena aku meminta
bantuannya. Tak sanggup menahan bulir air mata melihat kondisi Papa terkulai
lemas di Kasur dengan jarum menancap di tangan sebelah kanannya.
Cukup
beberapa menit aku melihat kondisi papa dengan hati hancur tanpa sepatah kata.
Mama pun menjauhkan handphhone Papa
pergi keluar, mungkin agar Papa tidak terbangun. “Udah jangan nangis! Bentar
lagi juga Papa sembuh, Cuma emang lagi kecapean aja. Doain yaa!” ucap Mama
menenangkanku.
Sakit
rasanya melihat orang terkasih sakit tanpa memberi tahu, aku yang tengah jauh
di sini ketika sakit sedikit langsung telpon mengabari Mereka, selalu ngerasa
tidak kuat sendirian, ingin didekat mereka. Tapi saat keadaan itu berbalik
justru mereka merahasiakan.
Notif
dari Papa dan Mama terus masuk berdatangan meyakiniku bahwa kondisi Papa sudah
baik-baik saja, Beliau meminta aku tetap di Bandung fokus mencari tempat magang
di sini jangan mengkhawatirkan kondisinya. Walau begitu, siapa yang tidak
khawatir? Aku masih terus berdoa agar Papa diberi kesembuhan. Dengan hati yang
masih ngambang memikirkan orangtua aku juga harus ingat tidak boleh
mengecewakannya jadi aku mulai melanjutkan apa yang menjadi misi ku kini
sebagai mahasiswa.
Singkat
saja aku sudah mendapatkan tempat magang di Bandung bersama ketiga temanku. Di
hari pertama kita disibukan mencari tempat kontrakan untuk menetap di sana
karena lembaga tersebut jauh dari kosan dan tidak memungkinkan untuk pulang
pergi. Di sore itu kami bersiap pulang dengan tujuan besok membawa
barang-barang untuk pindah ke kontrakan. Namun diperjalanan pulang di angkot aku
menerima telpon dari Mama.
Sore
itu ternyata menjadi sore yang teramat sesak bagi hidupku, sekujur badanku
begetar mendengar semua penuturan Mama menjelaskan kondisi Papa setelah dibawa
ke rumah, hancur rasanya bayangan yang tidak-tidak berdatangan menghampiriku
rasa cemas tak berkesudahan, bahkan air mata sudah ku tak pedulikan mengalir
deras di pipi membasahi jilbab yang ku kenakan.
Sampai tak sadar seisi angkot bersimpatik pada ku yang sudah sembab dan sesenggukan tak terkontrol, "Kamu kuat Lii," ucap salah satu temanku sambil menepuk halus ke pundak ku.
Sampai rumah teteh di Cileunyi aku menyaksikan sendiri teteh sudah sama sembabnya dengan ku, akhirnya malam itu kami sekeluarga dari Bandung pulang ke Karawang menemui Papa.
Di tengah jalan kami mendapat telpon dari Mama kalo Papa sudah membaik. Mendengar itu lega tak terkira rasanya. Akhirnya aa menyarankan esok hari saja ke rumah sakitnya untuk malam ini pulang ke rumah dulu beristirahat karena kasihan bawa anak-anak juga yang sudah pulas di mobil dari awal perjalanan. Sampai di rumah kami sudah mulai membersihkan diri dan beristirahat. Namun, di tengah malam sekitar pukul satu lewat Papa menelpon menyuruh kami semua ke rumah sakit malam itu juga. Senyum dan suaranya sudah terlihat dan terdengar seperti orang sehat dari layar ponsel. Syukur ku semakin membeludak rasanya plong melihat Papa sepulih itu.
Namun sebenarnya kami agak merasa janggal dengar permintaannya karena Papa tipikal orang yang protektif akan ke khawatiran anak-anaknya, tapi kali ini berbeda Beliau memohon agar kita semua yang berada di rumah ke rumah sakit malam itu juga. Mendengar permintaannya untuk ke rumah sakit kami pun bergegas.
Siapa sangka bahwa ternyata malam itu menjadi malam yang paling syahdu bagi kami sekeluarga yang tidak akan pernah terulang kembali bersama Papa. Iya, itu adalah malam terakhir kami berkumpul di dunia bersama dengan Almarhum ayahanda tercinta kami.
Masih terngiang di telinga seluruh percakapan selama 78 menit 36 detik di malam 20 Januari 2023 yang sarat akan nasihat pun diselingi canda tawa. Tidak selintas sedetik pada malam itu bahwa Beliau akan pergi secepat itu. Kala itu Papa bilang sedang baik-baik saja, tidak pernah menyangka bahwa esok harinya Papa pergi secepat itu dan meninggalkan duka terdalam di hati.
Akhirnya, telah kutemukan makna yang sebenarnya dari nasihat Papa untuk selalu sabar dan kuat. Didikan tentang mandiri kini harus dijalani dalam realita yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Permintaan malam itu untuk berkumpul ternyata menjadi permintaan terakhirnya.
Pah, kami ikhlas. Hanya saja kami sedang merindukanmu.
Al-Fatihah.
Semoga Papa diberikan tempat terbaik disisi-Nya, insya Allah ini hanya perpisahan sementara kelak kita akan berkumpul kembali di Jannah-Nya. Pah, sesuai janji insya Allah kami akan terus berbakti.
Papa tidak sungguhan pergi. Papa akan tetap ada disisi kami, selamanya.🥀
Komentar
Posting Komentar